Parenting Al Quran : Gaya Komunikasi Orang Tua dan Anak Perspektif Surat Luqman Ayat 12 – 19

Zaglul Fitrian

Bayangkan sejenak, sebuah dialog abadi yang terukir indah dalam lembaran suci Al-Quran. Bukan antara Nabi dan umatnya, melainkan antara seorang ayah, Luqman al-Hakim, yang dianugerahi hikmah (kebijaksanaan), dengan putra terkasihnya. Dialog ini, terangkum dalam Surat Luqman ayat 12 hingga 19, bukanlah sekadar untaian nasihat, melainkan sebuah mahakarya komunikasi parental—sebuah cetak biru yang melintasi zaman, menawarkan panduan berharga bagi setiap orang tua yang mendambakan hubungan hangat dan bermakna dengan buah hatinya, terutama di masa-masa emas usia dini.

Kisah ini bermula dari fondasi utama: hikmah dan syukur (QS. Luqman: 12). Sebelum kata terucap, Luqman telah dibekali pemahaman mendalam dan hati yang senantiasa bersyukur kepada Sang Pencipta. Ini adalah pengingat pertama bagi kita, para orang tua: komunikasi yang efektif lahir dari hati yang bijak dan jiwa yang penuh syukur. Ia bukan sekadar teknik, melainkan cerminan kualitas diri sang komunikator.

Lalu, mengalirlah kata pertama yang begitu menyentuh, panggilan yang meluluhkan hati: “Ya Bunayya…” (Wahai anakku…) (QS. Luqman: 13). Tiga kali panggilan mesra ini diulang dalam rentang ayat yang singkat. Ini bukan sekadar sapaan; ini adalah kunci pembuka gerbang hati sang anak. Panggilan ini membangun jembatan emosional, menciptakan suasana aman, nyaman, dan penuh cinta. Di sinilah esensi komunikasi dengan anak usia dini: sentuhan afektif harus mendahului transfer kognitif. Anak yang merasa dicintai akan lebih terbuka untuk mendengar, memahami, dan menerima. Seperti yang ditekankan dalam banyak teori psikologi modern, ikatan emosional yang kuat (secure attachment) adalah landasan bagi perkembangan anak yang sehat (Bowlby, 1969).

Dengan hati yang telah terpaut, Luqman menanamkan pilar paling fundamental: jangan menyekutukan Allah (QS. Luqman: 13). Ia tak hanya melarang, tapi memberikan alasan yang kuat, “Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” Ia mengajarkan tauhid, inti dari keimanan, dengan cara yang lugas namun logis. Ini adalah pelajaran bahwa nilai-nilai inti harus disampaikan sejak dini, dengan cara yang dapat dipahami anak, membangun fondasi spiritual yang akan menopang hidupnya.

Nasihat berlanjut pada bakti kepada orang tua (birrul walidain), namun dengan cara yang sungguh menyentuh. Luqman mengingatkan sang anak akan perjuangan ibu yang mengandung dan menyapihnya (QS. Luqman: 14). Ia tak hanya memberi perintah, tapi membangkitkan empati, mengajak anak memahami pengorbanan di balik kewajiban. Bahkan, ia mengajarkan prinsip dan batasan: jika orang tua mengajak pada syirik, jangan taati, namun tetaplah bergaul dengan baik (QS. Luqman: 15). Sungguh sebuah pelajaran dini tentang integritas dan kebijaksanaan dalam berinteraksi.

Bagaimana menjelaskan konsep Tuhan Yang Maha Melihat pada anak kecil? Luqman menggunakan analogi biji sawi (QS. Luqman: 16). Sesuatu yang begitu kecil, tersembunyi di dalam batu, di langit, atau di bumi, pasti akan diketahui Allah. Anak usia dini, yang berpikir secara konkret (Piaget, 1952), akan lebih mudah memahami konsep muraqabah (merasa diawasi Allah) melalui gambaran nyata ini. Inilah seni komunikasi: menerjemahkan konsep abstrak menjadi bahasa yang dapat dijangkau imajinasi anak.

Tak berhenti pada akidah dan hubungan personal, Luqman membimbing anaknya menuju praktik ibadah dan etika sosial (QS. Luqman: 17-19). Perintah mendirikan shalat, mengajak pada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan bersabar, adalah pilar-pilar pembentukan karakter aktif dan tangguh. Kemudian, ia menyentuh adab sehari-hari: jangan sombong, berjalanlah dengan wajar, dan lunakkan suaramu. Larangan ini pun diperkuat dengan perumpamaan yang menusuk namun efektif: “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” Ini adalah cara menanamkan kerendahan hati dan etika berkomunikasi yang baik.

Dialog Luqman dan putranya adalah narasi abadi tentang komunikasi yang ideal. Ia mengalir dari hati yang bijak, dibingkai dengan kasih sayang, berisi pesan-pesan fundamental, disampaikan dengan metode yang tepat—penuh alasan, empati, dan analogi yang relevan. Ia mengajarkan bahwa mendidik anak bukanlah tentang mendikte, melainkan tentang membimbing, menyentuh hati, membangun pemahaman, dan menanamkan nilai melalui jalinan komunikasi yang hangat dan penuh hikmah. Bisikan Luqman ini terus bergema, menjadi kompas bagi orang tua di setiap zaman untuk mengarungi samudera pengasuhan dengan cinta dan kebijaksanaan Ilahi.

*Ketua STAI MUAFI Sampang Jawa Timur


Referensi:

  1. Al-Quran Al-Karim, Surat Luqman (31), Ayat 12-19.
  2. Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss, Vol. 1: Attachment. New York: Basic Books.
  3. Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
  4. Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. New York: International Universities Press.
  5. Departemen Agama RI. (2005). Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *